Istilah Klitih yang kini merujuk pada kejahatan jalanan tidak muncul begitu saja. Istilah ini awalnya memiliki arti positif dalam bahasa Jawa, yaitu jalan-jalan di waktu luang mencari udara segar di luar rumah. Namun, istilah Klitih berubah maknanya dan mengarah pada kejahatan jalanan yang menyerang orang secara tiba-tiba. Istilah ini mulai muncul di kalangan pelajar pada tahun sekitar 2008 atau 2009, yang kemudian menjadi populer pada tahun 2016. Awalnya, Klitih merupakan perilaku kenakalan remaja dan permusuhan antarkelompok. Namun seiring berjalannya waktu, fenomena Klitih mengalami pergeseran. Saat ini, kejahatan jalanan Klitih tidak hanya menyerang kelompok tertentu, tetapi juga menargetkan masyarakat umum secara acak. Orang-orang di Yogyakarta mengidentifikasi pelaku yang bersepeda motor, bersenjata, dan melakukan kekerasan terhadap orang di jalan sebagai klitih. Setiap tahun, banyak orang menjadi korban kejahatan jalanan ini. Anak muda yang melakukan aksi Klitih umumnya ingin diterima dan diakui oleh teman-teman mereka. Mereka merasa bahwa dengan melakukan tindakan tersebut, mereka akan mendapatkan reputasi yang baik di lingkungan mereka. Selain itu, permasalahan pribadi atau keluarga juga dapat mempengaruhi anak muda untuk menjadi pelaku Klitih.
Perkembangan media sosial turut mempercepat pengungkapan peristiwa-peristiwa Klitih ini. Data yang tercatat oleh Polda Daerah Istimewa Yogyakarta pada DataIndonesia.id tahun 2022 menunjukkan bahwa kasus kejahatan jalanan Klitih mengalami peningkatan sebesar 11,54% pada tahun 2021 dibandingkan dengan tahun 2020. Pada tahun 2020, tercatat 52 kasus Klitih dengan 91 pelaku yang berhasil ditangkap. Kemudian pada tahun 2021, jumlah kasus meningkat menjadi 58 kasus dengan 102 pelaku yang berhasil ditangkap. Dari kasus tersebut, 40 kasus telah terselesaikan, sedangkan 18 kasus masih belum terselesaikan. Modus operandi yang digunakan meliputi penganiayaan dalam 32 kasus, penggunaan senjata tajam dalam 25 kasus, dan perusakan dalam 1 kasus. Selain itu, data Polda DIY juga mengungkapkan bahwa mayoritas pelaku masih berstatus sebagai pelajar, sementara sisanya merupakan pengangguran.
Fenomena Klitih telah memunculkan perasaan tidak aman bagi masyarakat setempat dan menjadi sumber kekhawatiran yang semakin meningkat ketika aksi kejahatan jalanan tersebut semakin sering dan menyebabkan korban jiwa. Sasaran yang tidak jelas dari para pelaku Klitih semakin meningkatkan kekhawatiran masyarakat karena menunjukkan bahwa siapa pun bisa menjadi korban dari tindakan merugikan ini. Keresahan masyarakat ini banyak disuarakan di media sosial, khususnya Twitter, dan bahkan menjadi topik trending di Indonesia. Menurut laporan dari Suara Jogja, lebih dari 18 ribu cuitan yang mengandung kata "Jogja" telah diposting di Twitter, dan sekitar 9 ribu di antaranya membahas tentang kekhawatiran dan keprihatinan masyarakat terhadap fenomena Klitih. Banyak masyarakat juga berpendapat bahwa Jogja tidak lagi menjadi kota yang aman bagi penduduknya. Jogja berhati nyaman, yang awalnya melekat dalam ingatan, apakah kini bisa didapatkan kembali? Harapan masyarakat hanya satu, yakni masalah seperti ini bisa tuntas hingga ke akar-akarnya.
sumber: Fenomena Klitih di Yogyakarta: Mengapa Bisa Terjadi? (published by LM Psikologi UGM)
Komentar
Posting Komentar