Langsung ke konten utama

Tari Angguk: Kesenian Tradisional Dari Kulon Progo Jogja

 

Tari Angguk pertama kali diciptakan oleh kelompok mayarakat bawah yang terpisah secara sosial dari wilayah Keraton Yogyakarta, tepatnya di tanah perdikan Mataram yang sekarang dikenal sebagai Kulon Progo. Lebih dari satu abad, Tari Angguk terus berkembang di Kulon Progo dengan perpaduan kebudayaan yang kental. Tarian ini menggabungkan unsur budaya Arab, Jawa, dan juga gaya Belanda dalam penampilannya. Para penari mengenakan kostum yang terinspirasi dari seragam Tentara Hindia Belanda atau KNIL saat mereka menduduki wilayah Purworejo pada abad ke-19. Selain itu, kostum tersebut juga dipenuhi dengan hiasan motif, rumbai-rumbai benang, dan selendang sampur yang sering ditemukan dalam pakaian adat Ponorogo. Ini adalah perubahan dari kostum asli Tari Angguk yang hanya terdiri dari warna dasar hitam, merah, dan kuning.

Nama Tari Angguk diambil dari gerakan kepala para penari yang mengangguk-angguk. Tarian ini memiliki dua makna yang berbeda, yakni melambangkan kegembiraan masyarakat setelah panen yang melimpah. Namun ada juga versi lain yang mengatakan bahwa Tari Angguk sebenarnya adalah sindiran terhadap tentara pribumi yang dianggap "lemah". Pada masa itu, banyak orang pribumi direkrut menjadi tentara oleh Belanda dan dikenal dengan sebutan "Londho Ireng". Keberadaan Tari Angguk juga tidak lepas dari pengaruh kesenian Warok Ponorogo. Pada masa itu, kesenian Warok Ponorogo membantu Keraton Mataram dalam memerangi pemberontakan Trunojoyo. Selain itu, Tari Angguk juga memiliki kaitan dengan Tarian Dolalak yang berkembang di Kabupaten Purworejo. Semua ini membuktikan bahwa Tari Angguk merupakan perpaduan dari berbagai kebudayaan yang berbeda.


Tari Angguk melibatkan 15 orang penari yang membawakan sebuah cerita. Tokoh-tokoh sakral seperti Umarmoyo, Sekar Mawar, Dewi Kuning-Kuning, Air Gunung, Trisnowati, dan Awang-awang menjadi peran utama dalam tarian ini. Para penari lainnya berperan sebagai penari pengiring. Selain gerakan tari yang indah, Tari Angguk juga menyampaikan pesan moral dan sosial yang dalam melalui gerakan-gerakan penari. Dalam pertunjukannya, Tari Angguk juga melibatkan seorang dalang yang membawakan syair-syair. Syair-syair ini bersumber dari Al-Qur'an, kitab Tlodo, dan kitab lain yang memiliki nuansa Islam dan budaya Jawa. Dialog dalam Tari Angguk menggunakan bahasa Arab dan bahasa Jawa Ngoko. Musik yang mengiringi Tari Angguk terdiri dari bunyi bedug, kendang, rebana, saron, dan krecek. Musik ini mengiringi gerakan-gerakan penari yang mengangguk-angguk dengan irama gerakan kaki dan tangan yang saling bergantian. Tari Angguk terdiri dari dua jenis gerakan tari, yaitu Tari Jejeran atau Ombyokan yang dilakukan oleh seluruh penari, dan Tari Pasangan yang melibatkan berbagai jenis gerakan tari berpasangan.

Saat ini, Tari Angguk diakui sebagai salah satu aset seni tari tradisional yang berharga di Kulon Progo. Tradisi ini masih dapat ditemui terutama di wilayah Kulon Progo Barat dan Utara, seperti di Kapanewon Temon, Kokap, dan Girimulyo, yang berbatasan langsung dengan Purworejo. Tari Angguk menjadi bagian penting dari kehidupan budaya dan identitas daerah, serta menjadi daya tarik yang menarik bagi wisatawan yang ingin merasakan kekayaan budaya tradisional Kulon Progo di Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Rekomendasi Angkringan di Yogyakarta, Cocok Untuk Kuliner Senja!

  Angkringan merupakan salah satu warung makan jalanan yang populer di Yogyakarta. Warung makan ini seringkali menjadi tempat hangout bagi anak muda maupun keluarga di Yogyakarta. Angkringan menawarkan berbagai macam kuliner dengan harga yang terjangkau. Selain itu, angkringan juga memiliki suasana yang unik dan menarik, sehingga menjadi salah satu tempat yang wajib dikunjungi ketika berada di Yogyakarta. Tak heran ada banyak angkringan yang tersebar di setiap sudut Jogja, bahkan sampai membuat kita bingung mau coba yang mana. Tapi jangan khawatir, berikut adalah 5 rekomendasi angkringan populer yang wajib kamu cobain di Yogyakarta! 1. Angkringan Lik Man Angkringan Lik Man merupakan angkringan legendaris di Yogyakarta yang sudah ada sejak tahun 1950-an. Bisa dibilang, dia adalah pelopor munculnya angkringan-angkringan yang lain. Angkringan Lik Man mulai buka pukul 4 sore hingga 1 malam, berlokasi di Jalan Poncowinatan nomor 7, Gowongan, Jetis, Yogyakarta.  Kamu bisa memesan be...

Meriahnya Ramadhan, Ini Dia Rekomendasi Tempat Berburu Takjil di Jogja!

  Saat bulan Ramadan tiba, setiap sudut Jogja turut menjadi saksi betapa semaraknya aktivitas berburu takjil. Berbagai varian makanan ringan dan minuman segar tersedia di pinggir jalan dengan harga yang sangat terjangkau. Namun, di antara banyaknya pilihan tersebut, ada beberapa tempat yang terkenal dengan suasananya yang meriah dan variasi takjilnya yang berwarna. Berikut beberapa rekomendasi tempat untuk kamu yang ingin merasakan meriahnya suasana berburu takjil di Jogja. 1. Kampung Ramadhan Jogokariyan Kampung Ramadhan Jogokariyan didirikan oleh para penduduk yang sangat aktif dalam berbagai kegiatan agama. Setiap tahunnya, pasar kaget yang diberi nama Kampung Ramadhan Jogokariyan ini dihadiri oleh banyak pedagang dan pengunjung yang terus meningkat. Kabarnya terakhir, ada sekitar 300 pedagang yang turut meramaikan pasar Ramadhan ini lho! Tak heran, kalau masuk sini bisa sampai bingung mau beli yang mana. Selain pasar, di Kampung Ramadhan Jogokariyan juga disediakan ribuan takji...

Lupis Mbah Satinem, Kelezatan Legendaris Di Sudut Kota Jogja

Salah satu kuliner legendaris yang tidak boleh dilewatkan saat mengunjungi Yogyakarta adalah Lupis Mbah Satinem. Lupis merupakan makanan tradisional khas Jawa yang terbuat dari ketan yang dikukus dan disajikan dengan gula merah dan kelapa parut. Lupis dengan siraman gula aren buatan Mbah Satinem memang sudah menjadi legenda. Nenek berusia lanjut ini telah menjalani usaha kuliner ini sejak tahun 1963. Lupis lezat hasil karya Mbah Satinem dibuat menggunakan resep turun temurun dari ibunya. Pada awalnya, Mbah Satinem menjajakan lupis dengan cara berkeliling pasar dan menggendong dagangannya. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menetap di sudut kota pelajar ini. Cita rasa lupis Mbah Satinem tidak pernah berubah. Mbah Satinem membuat jajanan pasar secara tradisional dengan memasak semua bahan menggunakan kompor kayu. Tidak ada bahan pengawet makanan yang digunakan dalam proses pembuatan lupis ini. Semua bahan dan prosesnya dijaga dengan cermat untuk menjaga kelezatan rasa setiap lupis yang ...